DadanKusdiana, Direktur Jenderal Energi Baru Terbarukan dan Konservasi Energi (Dirjen EBTKE) Kementerian ESDM, mengatakan dibutuhkan peningkatan target pemanfaatan EBT sekitar 10-11% setiap tahunnya agar dapat tercapai 23% pada 2025, dengan beberapa asumsi khususnya peningkatan pengembangan PLTS karena proyeknya cukup banyak dikembangkan oleh stakeholder untuk pemanfaatan sendiri. GL3cg. Indonesia, negara penyumbang emisi gas rumah kaca terbesar keempat di dunia, sangat bergantung pada batu bara untuk menghasilkan listrik. Pembangkit listrik tenaga uap PLTU batu bara di Indonesia menghasilkan sepertiga dari total emisi negara ini. Untuk mengurangi emisi gas rumah kaca pada masa yang akan datang, Indonesia sedang mengembangkan berbagai macam sumber daya energi terbarukan yang dimilikinya - termasuk tenaga surya, angin, dan panas bumi. Indonesia juga memiliki target untuk memenuhi kebutuhan energi ke depan, yang diperkirakan akan tumbuh sebesar 80% pada 2030. Riset saya, yang diterbitkan dalam Energy Research and Social Science, mengkaji tentang faktor-faktor politik dan ekonomi yang mempengaruhi investasi di sektor pembangkit listrik tenaga surya, yang saat ini sedang berkembang di Indonesia. Analisis pada riset tersebut menunjukkan bahwa investasi yang baru-baru ini masuk dari sektor swasta memperlihatkan bahwa meski pemasangan pembangkit energi terbarukan mungkin meningkat, peningkatan ini dapat menimbulkan tantangan baru, seperti meningkatnya permintaan lahan. Hubungan energi dan lahan Penelitian terbaru menunjukkan bahwa pemasangan tenaga surya untuk memenuhi target Indonesia untuk mencapai 1,500 gigawatt GW pembangkit listrik tenaga surya pada 2050 akan membutuhkan setidaknya kilometer persegi atau sekitar 0,4% lahan. Walau 0,4% tampaknya tidak signifikan, estimasi ini tidak memperhitungkan adanya konflik dalam kepemilikan lahan di Indonesia. Pengelolaan lahan di Indonesia berada di bawah pemerintah nasional, daerah, dan lokal. Mereka saling bersaing dalam mengatur penggunaan lahan. Pembebasan lahan untuk pengembangan proyek energi adalah suatu proses yang panjang dan rumit. Sebelum membebaskan lahan, pihak pengembang proyek harus membuktikan kepatuhan mereka pada perencanaan tata ruang regional yang sudah ada. Mereka juga harus memperoleh persetujuan dari Kementerian Lingkungan Hidup dan Kehutanan untuk menggunakan lahan hutan. Lahan hutan menyumbang sekitar 70% dari keseluruhan lahan di Indonesia. Setelah memenuhi kriteria ini, pengembang proyek dapat memperoleh izin dari pemerintah kabupaten tempat lokasi proyek itu berada. Setelah izin terbit, pengembang proyek memiliki tanggung jawab untuk menyelesaikan seluruh transaksi yang diperlukan untuk membebaskan lahan. Jika tidak, maka ada risiko izin tersebut dicabut. Proses pembebasan lahan yang pelik dan potensinya dalam menimbulkan dampak bagi pengguna lahan bisa dilihat dalam kasus Pembangkit Listrik Tenaga Bayu Tolo di Kabupaten Jeneponto, Sulawesi Selatan. Kebun angin ini merupakan kebun angin terbesar kedua di Indonesia. Beroperasi sejak 2018, proyek ini memiliki dua puluh turbin setinggi 130 meter yang tersebar di lahan dengan luas sekitar 50 hektare. Meski tergolong kecil dalam standar internasional, lokasi proyek ini mencakup delapan desa di empat kecamatan. Proses pembebasan lahan proyek ini berdampak kepada sekitar 500 pemilik lahan dan 100 petani penggarap. Mayoritas dari mereka kehilangan akses ke tidak lebih 10% dari total kepemilikan lahan. Evaluasi terhadap dampak sosial dari proyek ini memperlihatkan bahwa hampir sepertiga dari pemilik lahan dan petani penggarap ini rentan akibat tidak adanya pendapatan setelah lahannya dipakai. Riset untuk memahami dampak jangka panjang dari transformasi penggunaan lahan ini sedang berjalan. Walau inovasi teknologi seperti pembangkit tenaga surya terapung dapat mengurangi kebutuhan lahan, proses pembebasan lahan yang rumit dan potensi ancaman terhadap berbagai mata pencaharian tetap ada. Siapa yang akan mendapatkan manfaat dari proses perubahan energi di Indonesia? Kasus Pembangkit Listrik Tenaga Bayu Tolo menyoroti bagaimana perubahan lahan dan mata pencaharian merupakan aspek yang penting dalam proses perubahan energi di Indonesia. Sistem pengelolaan lahan harus memberikan perhatian yang lebih besar untuk memastikan bahwa pengembangan energi terbarukan dapat berjalan tanpa menggusur masyarakat sekitar. Sistem pengelolaan lahan di Indonesia, yang diatur dalam Undang-Undang Pokok-Pokok Agraria tahun 1960 tidak sesuai dengan situasi masa kini. Di bawah hukum ini, dua pertiga dari populasi masyarakat Indonesia memiliki lahan secara informal atau girik. Meski diakui oleh kepala desa atau pemerintahan kota, girik dianggap lebih lemah daripada sertifikat resmi atau sistem kepemilikan lahan secara kontrak sewa. Pemerintah sudah mulai untuk mengubah sistem pengelolaan lahan dengan mengeluarkan beberapa peraturan. Untuk mempercepat pembangunan infrastruktur energi, Presiden Joko “Jokowi” Widodo mengeluarkan Peraturan Presiden pada 2015 dan 2016. Pemerintah juga berencana mengesahkan “Undang-Undang Omnibus” yang menuai banyak kritik. Undang-undang ini bertujuan untuk mempersingkat proses pembebasan lahan untuk proyek infrastruktur nasional, termasuk energi terbarukan. Hingga saat ini, kebijakan di Indonesia terkait energi terbarukan, termasuk target untuk memperoleh 23% total suplai energi dari sumber daya yang baru dan terbarukan pada 2050, berfokus pada perluasan kapasitas energi terbarukan. Namun, fokus pemerintah yang sempit tidak cukup untuk memenuhi tantangan-tantangan lain terkait energi, seperti menyalurkan listrik ke sekitar 4,5 juta masyarakat Indonesia yang saat ini kesulitan mengakses listrik secara murah dan mudah. Kebutuhan akan investasi dalam pengembangan energi terbarukan telah mendorong pemerintah untuk bermitra dengan sektor swasta. Akan tetapi, kemitraan ini dapat menimbulkan konflik yang serius. Dengan dukungan dari investor swasta, pemerintah cenderung memilih untuk mengembangkan proyek berskala besar yang menggunakan teknologi pengolahan lahan secara intensif. Jika demikian, proyek-proyek berskala kecil yang efisien dan lenting, yang memiliki peluang untuk meningkatkan akses ke energi dan memberdayakan pembangunan ekonomi lokal, berpotensi diabaikan. Oleh karena itu, pemerintah harus memperhatikan bentuk-bentuk alternatif lain dari pendanaan untuk pengembangan energi terbarukan. Hal ini untuk memastikan bahwa proyek-proyek tersebut akan saling melengkapi dengan penggunaan lahan oleh masyarakat lokal. Pemerintah harus menggabungkan proses pencarian alternatif pendanaan ini dengan melakukan reformasi lahan sebuah komponen yang diperlukan namun sering diabaikan dalam setiap upaya nasional untuk mendorong pengembangan energi terbarukan di Indonesia. Ayesha Muna menerjemahkan artikel ini dari bahasa Inggris. Dapatkan kumpulan berita lingkungan hidup yang perlu Anda tahu dalam sepekan. Daftar di sini. Jakarta, CNBC Indonesia - PT PLN Persero mengaku berkomitmen dalam mendorong pembangunan pembangkit berbasis energi baru terbarukan EBT demi mencapai target netral karbon pada 2060 tersebut disampaikan oleh Direktur Utama PLN Zulkifli mengatakan, hingga 2060 ada peluang tambahan produksi dari pembangkit listrik berbasis EBT mencapai Tera Watt hour TWh. Hal ini dikarenakan produksi listrik pada 2060 bisa mencapai TWh dari saat ini sebesar 300 TWh dan ada tambahan sekitar 120 TWh dari Pembangkit Listrik Tenaga Uap PLTU berbasis batu bara 35 Giga Watt GW dalam beberapa tahun mendatang. Untuk mencapai target tersebut, menurutnya pengembangan pembangkit harus diselaraskan dengan suplai dan permintaan, potensi ketersediaan sumber energi setempat resource based, keekonomian, keandalan, ketahanan energi nasional dan keberlanjutan sustainability."Penyediaan listrik harus memenuhi prinsip ketahanan, keamanan pasokan, keekonomian, dan level emisi," ujarnya dalam Investor Daily Summit 2021, Rabu 14/07/2021.Selain itu, menurutnya akselerasi pengembangan pada daerah defisit serta daerah yang menggunakan BBM sebagai bahan bakar Pembangkit Listrik Tenaga Diesel PLTD juga menjadi langkah strategis PLN untuk mengurangi belanja negara dalam pembelian impor mengatakan, strategi ini dilakukan melalui konversi PLTD PLN ke pembangkit berbasis EBT yang sebagian berada di daerah isolated offgrid atau di luar jaringan listrik PLN."Ini dilakukan dengan mempertimbangkan aspek keekonomian dan pertumbuhan beban sulit diprediksi di daerah isolated, antara lain penerapan metode autocorrective incremental development," sistem kelistrikan dengan margin cadangan reserve margin besar perlu mempertimbangkan harmonisasi suplai dan permintaan, peran serta dukungan pemerintah dan para pemangku kepentingan lainnya dalam menumbuhkan iklim investasi di bidang industri dalam rangka peningkatan permintaan dan pertumbuhan ekonomi."Kondisi kelistrikan existing umumnya over supply. Empat sistem besar dengan cadangan daya berlebih terdapat di sistem Jamali Jawa, Madura, Bali, Sumatera, Sulawesi bagian Selatan, dan Kalimantan," pun menyebut, potensi pengembangan EBT PLN selama 2021-2030 antara lain- PLTA 9 GW- Geothermal atau panas bumi PLTP 2,4 GW- Pembangkit listrik berbasis biomassa, angin, surya 4,5 GW- Pembangkit listrik untuk penopang beban dasar seperti Pembangkit Listrik Tenaga Sampah PLTSa 1 GW. [GambasVideo CNBC] Artikel Selanjutnya PLN Beberkan Alasan Susut Jaringan Listrik Tinggi wia › Ekonomi›Pengembangan Energi Terbarukan... Bauran energi terbarukan ditargetkan sebesar 23 persen pada 2025. Sampai 2020, capaiannya masih 11,5 persen. Permasalahan pengembangan di lapangan harus ada solusinya. Kompas/Wawan H Prabowo Deretan kincir angin pembangkit listrik tenaga bayu PLTB menghiasi puncak bukit di Desa Kamanggih, Kecamatan Kahaungu Eti, Sumba Timur, Nusa Tenggara Timur, Selasa 2/2/2021. PLTB yang mulai dibangun tahun 2013 tersebut saat ini tidak lagi bisa memenuhi kebutuhan listrik masyarakat setempat. Meski masih bisa difungsikan, kerja baterainya tidak KOMPAS — Pengembangan energi terbarukan di Indonesia masih penuh tantangan. Berbagai kendala, seperti harga jual beli tenaga listrik dari energi terbarukan yang kurang menarik di mata pengembang, minimnya insentif fiskal, serta kebijakan yang mudah sekali berubah, membuat pengembangannya lamban. Di tingkat lokal, pengembangan energi terbarukan terkendala sumber rentang lima tahun, yakni pada 2015-2019, rata-rata pertumbuhan kapasitas terpasang pembangkit listrik energi terbarukan di Indonesia sebesar 400 megawatt MW per tahun. Sepanjang 2020, penambahan kapasitas terpasang lebih rendah, yaitu kurang dari 200 MW. Pandemi Covid-19 sejak Maret tahun lalu menyebabkan sejumlah proyek pengembangan pembangkit listrik energi terbarukan tersendat. Pada kurun 2018-2019, penambahan kapasitas terpasang terbesar ada di pembangkit listrik tenaga air, yakni PLTA 233,9 MW. Berikutnya adalah pembangkit listrik tenaga panas bumi PLTP bertambah 182,4 MW dan pembangkit listrik tenaga surya PLTS bertambah 68,8 MW. Adapun penambahan kapasitas terpasang pembangkit listrik tenaga bayu PLTB pada kurun yang sama sebesar 10,8 MW. Dengan kapasitas terpasang MW sampai 2020, PLTA masih berperan terbesar dengan jumlah Umum Masyarakat Energi Terbarukan Indonesia METI Surya Darma berpendapat, salah satu batu sandungan dalam pengembangan energi terbarukan di Indonesia adalah tidak ada regulasi yang mengatur harga tenaga listrik dari energi terbarukan. Aturan yang pernah diterbitkan pun kerap juga Indonesia Membutuhkan Percepatan Transisi EnergiIa menekankan pentingnya ada undang-undang UU khusus yang mengatur energi terbarukan. Rancangan UU tentang Energi Terbarukan ini masuk dalam Program Legislasi Nasional Prolegnas 2021 yang diusulkan oleh DPR dan DPD.”Apabila ada UU tentang energi terbarukan, pengembangannya akan punya landasan hukum yang lebih kuat dan lebih pasti. Di dalamnya nanti akan dimuat aspek pengusahaan, harga, atau pengelolaan,” kata Surya saat dihubungi, Senin 15/3/2021, di itu, harga listrik dari sumber energi terbarukan masih dipertentangkan dengan harga dari sumber energi fosil yang disubsidi negara. Hal itu dialami oleh pelaku usaha pengembang PLTP di Indonesia. Dukungan lembaga keuangan pada masa eksplorasi panas bumi juga minim.”Belum lagi masalah transparansi dan jangka waktu penerbitan perizinan yang dapat memengaruhi keekonomian proyek panas bumi. Selain itu, kami juga dihadapkan masalah sosial di area proyek, seperti penolakan dari kelompok masyarakat tertentu,” ucap Direktur Utama PT Geo Dipa Energi Persero Riki F satu sisi, sejumlah warga di sekitar lokasi proyek PLTP Geo Dipa Energi di Kabupaten Banjarnegara, Jawa Tengah, menginginkan informasi yang utuh terkait dengan pelaksanaan proyek. Sejumlah warga Desa Karangtengah, Kecamatan Batur, Kabupaten Banjarnegara, menilai sosialisasi terhadap warga sekitar masih minim. Pelatihan mitigasi bencana belum pernah dilakukan terhadap warga setempat untuk menekan risiko bencana dari eksplorasi energi panas juga Tak Cukup Hanya Insentif untuk Capai Target Bauran Energi Nasional”Untuk sosialisasi dibutuhkan terutama untuk warga usia lanjut. Biasanya, jika ada ledakan, mereka itu jantungan. Di Dusun Pawuan itu ada 3 well pad tapak sumur pengeboran yang dekat dengan permukiman dengan jarak sekitar 500 meter,” kata Kata Kepala Dusun Pawuhan, Desa Karangtengah, Goris, Rabu 24/2.Sumber dayaDi tingkat lokal, sejumlah pengembangan energi terbarukan mengalami kendala. Selain masalah sumber daya manusia, pengembangan energi terbarukan kerap kekurangan modal untuk pemeliharaan mesin pembangkit dan suku cadang. Bahkan, honor untuk operator minim bahkan tidak satu pengembangan PLTB yang terhenti ada di Desa Kamanggih, Kecamatan Kahaungu Eti, Kabupaten Sumba Timur, NTT. Di salah satu puncak bukit di Kamanggih dibangun 20 tiang kincir angin dengan kapasitas masing-masing 500 watt peak Wp dan 20 panel surya dengan masing-masing kapasitas 50 H Prabowo Umbu Hinggu Panjanji mengecek pintu air Pembangkit Listrik Tenaga Mikrohidro PLTMH Mbakuhau di Desa Kamanggih, Kecamatan Kahaungu Eti, Kabupaten Sumba Timur, Nusa Tenggara Timur, Selasa 2/2/2021. Listrik yang dihasilkan oleh PLTMH tersebut disalurkan ke masyarakat melalui Koperasi Jasa Peduli PLTB dan panel surya tersebut dibiayai oleh dana pertanggungjawaban sosial perusahaan PT Pertamina Persero pada 2013. Lantaran tiada biaya pemeliharaan, PLTB tersebut tak beroperasi.”Selain hampir separuh tiang kincir roboh atau rusak, beberapa komponen, seperti baterai untuk menyimpan arus listrik, inverter alat pengubah arus, dan controller alat pengatur pengisian daya pada baterai, rusak berat sehingga tak lagi bisa lagi mengalirkan listrik ke rumah warga,” tutur Ketua Koperasi Serba Usaha Kamanggih Umbu Hinggu Panjanji 45 yang mengelola sumber daya energi terbarukan di itu, harga listrik dari sumber energi terbarukan masih dipertentangkan dengan harga dari sumber energi fosil yang disubsidi menambahkan, awal mula beroperasinya PLTB dan panel surya tersebut, warga dipungut iuran Rp per bulan. Sebanyak 23 rumah warga yang mendapat penerangan listrik dari PLTB dan panel surya tersebut. Belakangan, pembayaran iuran macet dan terhenti total. Kerusakan alat kincir angin maupun komponen lainnya tidak bisa diperbaiki atau diganti dengan suku cadang yang baru.”Bagi sebagian warga kami, uang Rp itu bukan uang kecil. Sangat berarti untuk biaya hidup sehari-hari,” ucap Produksi Listrik dari Energi Baru Terbarukan DuniaHal yang sama terjadi di Desa Lantan, Kecamatan Batukliang Utara, Kabupaten Lombok Tengah, NTB. Di desa tersebut dibangun pembangkit listrik tenaga mikrohidro PLTMH dengan kapasitas 25 kilovolt ampere kVA pada 2007 dengan dana pemerintah provinsi. Kapasitas pembangkit diperbesar hingga menjadi 100 kVA. Namun, sejak mesin pembangkit rusak diterjang banjir pada 2013, PLTMH tersebut berhenti beroperasi.”Mesin turbin rusak berat dan tidak ada dana untuk perbaikan. Sampai sekarang terbengkalai. Apalagi sejak ada jaringan PLN masuk ke kampung kami, nasib PLTMH tersebut sudah tinggal cerita,” kata Ketua Unit Listrik pada Koperasi Mele Maju Muhajir 33. Koperasi Mele Maju adalah pengelola PLTMH saat masih juga Pemerintah Berkomitmen Naikkan Daya Saing Panas BumiMuhajir menceritakan, listrik dari PLTMH tersebut mampu menerangi sekitar 700 rumah warga desa. Setiap bulan, warga hanya dipungut iuran Rp Setiap bulan, koperasi memperoleh Rp 8 juta sampai Rp 10 juta dari hasil iuran warga. Adapun biaya operasional per bulan hanya Rp 3 juta. Kini, sejak menggunakan listrik dari PLN, warga membayar sedikitnya Rp per mengoptimalkan sumber daya energi terbarukan di Indonesia, menurut Kepala Pusat Studi Energi Universitas Gadjah Mada, Yogyakarya, Deendarlianto, memang memerlukan perhatian penuh yang konsisten dari pemerintah untuk mencapai target bauran energi nasional. Kebijakan energi terbarukan yang top down dan niat politik yang rendah menyebabkan pengembangan berjalan lamban. Di samping itu, masih ada masalah operasi sistem kelistrikan yang belum mendukung sifat intermitensi energi terbarukan, seperti pada PLTS atau PLTB. APO/ICH/RAZ/DKABaca juga Mendorong Energi Terbarukan Jangan Abaikan Migas

bagaimana usaha mempercepat pengembangan pemakaian energi listrik terbarukan